SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH
 PENGANTAR 
Fatwa ini saya tulis sejak  lama  sebagai  jawaban  terhadap beberapa   pertanyaan  seputar  masalah  pencangkokan  organ tubuh. 
Masalah  ini  merupakan  masalah  ijtihadiyah  yang  terbuka kemungkinan  untuk  didiskusikan, seperti halnya semua hasil ijtihad  atau  pemikiran   manusia,   khususnya   menyangkut masalah-masalah  kontemporer  yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu. 
Dalam kaitan ini, tidak seorang pun ahli  fiqih  yang  dapat mengklaim  bahwa  pendapatnyalah  yang  benar secara mutlak. Paling-paling ia hanya  boleh  mengatakan  sebagaimana  yang dikatakan   Imam   Syafi'i,  "Pendapatku  benar  tetapi  ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi  ada kemungkinan benar." 
Karena itu saya menganggap aneh terhadap kesalahpahaman yang muncul akhir-akhir ini yang menentang  seorang  juru  dakwah yang  agung,  Syekh  Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, karena beliau memfatwakan tidak bolehnya pencangkokan  organ  tubuh dengan didasarkan atas pemikiran beliau. 
Sebenarnya  Syekh  Sya'rawi --mudah-mudahan Allah melindungi beliau-- tidak  menulis  fatwa  tersebut  secara  bebas  dan detail.  Beliau  hanya  mengatakannya dalam suatu mata acara televisi, ketika menjawab pertanyaan  yang  diajukan.  Dalam acara-acara  seperti  itu  sering  muncul  pertanyaan secara tiba-tiba, dan jawabannya pun bersifat sepintas  lalu,  yang tidak  dapat  dijadikan  acuan  pokok  sebagai  pendapat dan pandangan  ulama   dalam   persoalan-persoalan   besar   dan masalah-masalah  yang  sukar.  Yang dapat dijadikan pegangan dalam hal ini adalah pendapat  yang  tertuang  dalam  bentuk tulisan,  karena  pendapat dalam bentuk tulisan mencerminkan pemikiran yang akurat  dari  orang  yang  bersangkutan,  dan tidak ada kesamaran padanya. 
Namun  demikian,  setiap  orang  boleh  diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. Sedangkan seorang  mujtahid, apabila  benar  pendapatnya  maka  dia  akan mendapatkan dua pahala; dan jika keliru maka diampuni  kesalahannya,  bahkan masih mendapatkan satu pahala. 
Wa  billahit  taufiq,  dan  kepada-Nya-lah tujuan perjalanan hidup ini. 
Pertanyaan:  
Bolehkah seorang muslim mendonorkan sebagian organ  tubuhnya sewaktu  dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain? Kalau boleh, apakah kebolehannya itu bersifat mutlak ataukah terikat    dengan    syarat-syarat    tertentu?    Dan   apa syarat-syaratnya itu? 
Jika mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan,  maka  untuk siapa saja donor itu? Apakah hanya untuk kerabat, atau hanya untuk orang muslim, ataukah boleh untuk sembarang orang?  
Apabila  mendermakan  atau  mendonorkan  organ   tubuh   itu diperbolehkan, apakah boleh memperjualbelikannya? 
Bolehkah  mendonorkan  organ  tubuh setelah meninggal dunia? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan  keharusan  menjaga kehormatan mayit? 
Apakah  mendonorkan  itu  merupakan  hak  orang bersangkutan (yang  punya   tubuh   itu)   saja?   Bolehkah   keluarganya mendonorkan organ tubuh si mati? 
Bolehkah  negara  mengambil  sebagian organ tubuh orang yang kecelakaan misalnya, untuk menolong orang lain?
Bolehkah mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim ke  tubuh orang muslim? 
Bolehkah   mencangkokkan  organ  tubuh  binatang  --termasuk binatang itu najis, seperti babi misalnya-- ke tubuh seorang muslim? 
Itulah  sejumlah  pertanyaan  yang  dihadapkan  kepada fiqih Islam dan  tokoh-tokohnya  beserta  lembaga-lembaganya  pada masa sekarang. 
Semua  itu  memerlukan  jawaban, apakah diperbolehkan secara mutlak,  apakah  dilarang  secara  mutlak,  ataukah   dengan perincian? 
Baiklah  saya  akan mencoba menjawabnya, mudah-mudahan Allah memberi pertolongan dan taufiq-Nya. 
Jawaban:  
BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA  DIA MASIH HIDUP? 
Ada   yang   mengatakan   bahwa  diperbolehkannya  seseorang mendermakan  atau  mendonorkan  sesuatu  ialah  apabila  itu miliknya.  Maka,  apakah  seseorang  itu  memiliki  tubuhnya sendiri  sehingga  ia  dapat   mempergunakannya   sekehendak hatinya,  misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan  dari  Allah  yang  tidak boleh  ia  pergunakan  kecuali  dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan  tubuhnya  dengan  semau sendiri  pada  waktu  dia  hidup  dengan  melenyapkannya dan membunuhnya  (bunuh  diri),  maka  dia  juga   tidak   boleh mempergunakan  sebagian  tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya. 
Namun demikian, perlu  diperhatikan  disini  bahwa  meskipun tubuh  merupakan  titipan  dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang   untuk    memanfaatkan    dan    mempergunakannya, sebagaimana   harta.   Harta  pada  hakikatnya  milik  Allah sebagaimana  diisyaratkan  oleh  Al-Qur'an,  misalnya  dalam firman Allah:
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi  wewenang  kepada  manusia  untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu. 
Sebagaimana  manusia  boleh  mendermakan  sebagian  hartanya untuk  kepentingan  orang  lain  yang  membutuhkannya,  maka diperkenankan  juga  seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. 
Hanya perbedaannya adalah  bahwa  manusia  adakalanya  boleh mendermakan  atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan  ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari  kematian,  dari  penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara. 
Apabila  seorang  muslim  dibenarkan  menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah  jilatan  api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian    wujud   materiilnya   (organ   tubuhnya)   untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya? 
Pada zaman sekarang kita melihat adanya  donor  darah,  yang merupakan   bagian  dari  tubuh  manusia,  telah  merata  di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama  pun  yang mengingkarinya,  bahkan  mereka  menganjurkannya  atau  ikut serta menjadi donor. Maka ijma'  sukuti  (kesepakatan  ulama secara  diam-diam)  ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor  darah  dapat diterima syara'. 
Didalam  kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk  menolong  orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong  orang  yang  terluka,  memberi  makan  orang  yang kelaparan,  melepaskan  tawanan, mengobati orang yang sakit, dan  menyelamatkan  orang  yang  menghadapi   bahaya,   baik mengenai jiwanya maupun lainnya. 
Maka  tidak  diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar  (bencana,  bahaya)  yang  menimpa   seseorang   atau sekelompok  orang,  tetapi  dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu  menghilangkannya,  atau  tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya. 
Karena   itu   saya  katakan  bahwa  berusaha  menghilangkan penderitaan  seorang  muslim  yang  menderita  gagal  ginjal misalnya,  dengan  mendonorkan  salah  satu  ginjalnya  yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan  syara',  bahkan terpuji  dan  berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang  di  bumi, sehingga  dia  berhak  mendapatkan kasih sayang dari yang di langit. 
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan  sebagian  organ  tubuh  termasuk  kebaikan (sedekah).  Bahkan  tidak  diragukan  lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan  paling  utama,  karena tubuh  (anggota  tubuh)  itu  lebih  utama  daripada  harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan  seluruh  harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya.  Karena  itu,  mendermakan  sebagian  organ  tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia. 
Kalau kita katakan orang hidup  boleh  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya,  maka  apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu? 
Jawabannya,  bahwa  kebolehannya   itu   bersifat   muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ  tubuhnya  yang  justru   akan   menimbulkan   dharar, kemelaratan,   dan   kesengsaraan  bagi  dirinya  atau  bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya. 
Oleh sebab itu, tidak  diperkenankan  seseorang  mendonorkan organ  tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena  dia  tidak  mungkin  dapat  hidup tanpa   adanya   organ  tersebut;  dan  tidak  diperkenankan menghilangkan dharar  dari  orang  lain  dengan  menimbulkan dharar  pada  dirinya.  Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya,  kemelaratan,  kesengsaraan,  nestapa)  itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar  itu  tidak  boleh  dihilangkan  dengan  menimbulkan dharar pula." 
Para   ulama   ushul   menafsirkan  kaidah  tersebut  dengan pengertian:  tidak   boleh   menghilangkan   dharar   dengan menimbulkan   dharar   yang   sama  atau  yang  lebih  besar daripadanya. 
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian  luar, seperti  mata,  tangan,  dan  kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang  lain  dengan  menimbulkan dharar  pada  diri  sendiri  yang  lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi  dirinya  dan menjadikan buruk rupanya. 
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan  itu  tidak  berfungsi  atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ. 
Hal  itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma  (donor),seperti  hak  istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya). 
Pada suatu hari pernah ada seorang  wanita  bertanya  kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara     perempuannya,     tetapi     suaminya      tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?  
Saya  jawab  bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu  ginjalnya,  sudah  barang tentu  ia  harus  dioperasi  dan  masuk  rumah  sakit, serta memerlukan perawatan khusus.  Semua  itu  dapat  menghalangi sebagian  hak  suami  terhadap  istri,  belum  lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya  hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami. 
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian,  tidak diperbolehkan  anak  kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu  persis  kepentingan  dirinya,  demikian  pula halnya orang gila. 
Begitu  juga  seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang  dibawah  perwaliannya, disebabkan  keduanya  tidak  mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya,  lebih-lebih  jika  ia mendermakan  sesuatu  yang  lebih  tinggi  dan  lebih  mulia daripada harta, semisal organ tubuh. 
MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini  boleh  dilakukan  terhadap  orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir  harbi  yang memerangi  kaum  muslim.  Misalnya,  menurut  pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang  pikiran dan yang berusaha merusak Islam. 
Demikian  pula  tidak  diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada  orang  murtad  yang   keluar   dari   Islam   secara terang-terangan.   Karena  menurut  pandangan  Islam,  orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia  berhak  dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup? 
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan  donor,  yang satu  muslim  dan  satunya  lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong  bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah: 71)
Bahkan seorang  muslim  yang  saleh  dan  komitmen  terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan  hidup  dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya  melakukan  ketaatan  kepada Allah  dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini  berbeda  dengan   ahli   maksiat   yang   mempergunakan nikmat-nikmat  Allah  hanya  untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain. 
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si  donor,  maka dia  lebih  utama  daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang  lebih  kuat  lagi, sebagaimana firman Allah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada   orang   tertentu,   sebagaimana   ia   juga   boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani  masalah  ini  (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat dan memelihara  organ  tersebut  dengan caranya  sendiri,  sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan. 
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH 
Perlu   saya   ingatkan   disini   bahwa    pendapat    yang memperbolehkan   donor   organ   tubuh   itu  tidak  berarti 
memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena  jual  beli  itu --sebagaimana   dita'rifkan  fuqaha--  adalah  tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh  manusia  itu  bukan harta   yang   dapat  dipertukarkan  dan  ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek  perdagangan  dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat  pasar  yang  mirip dengan  pasar  budak.  Di  situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang  lemah  --untuk  konsumsi orang-orang  kaya--  yang  tidak  lepas  dari  campur tangan "mafia  baru"  yang  bersaing  dengan  mafia  dalam  masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya. 
Tetapi,  apabila  orang  yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor  --tanpa  persyaratan  dan  tidak ditentukan   sebelumnya,   semata-mata  hibah,  hadiah,  dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz  (boleh), bahkan  terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang  berutang  ketika  mengembalikan pinjaman    dengan    memberikan    tambahan    yang   tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara'  dan terpuji,  bahkan  Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang)  dengan  sesuatu  yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:  
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) 
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA? 
Apabila seorang muslim  diperbolehkan  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah  dia berwasiat  untuk  mendonorkan  sebagian  organ  tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti? 
Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan  organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan  mendatangkan  kemelaratan  --meskipun kemungkinan   itu   kecil--   maka  tidaklah  terlarang  dia mewasiatkannya setelah meninggal  dunia  nanti.  Sebab  yang demikian  itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat  (kemelaratan/  kesengsaraan) sedikit  pun  kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal  akan  lepas  berantakan  dan  dimakan  tanah beberapa  hari  setelah  dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan  diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun  dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali  jika  ada  dalil  yang sahih  dan  sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai. 
Umar r.a. pernah berkata kepada  sebagian  sahabat  mengenai beberapa  masalah,  "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu  dan  tidak  memberikan  mudarat  kepada   dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat  dikatakan  kepada   orang   yang   melarang   masalah mewasiatkan organ tubuh ini. 
Ada  yang  mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit  yang  sangat  dipelihara  oleh  syariat  Islam,  yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda: 
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."1 
Saya tekankan disini bahwa  mengambil  sebagian  organ  dari tubuh  mayit  tidaklah  bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya.  Sebab  yang  dimaksud  dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ  yang  dibutuhkan) itu  dilakukan  seperti  mengoperasi orang yang hidup dengan penuh  perhatian  dan  penghormatan,  bukan  dengan  merusak kehormatan tubuhnya. 
Sementara  itu,  hadits  tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan  memotong-motong  tubuh  mayit,   merusaknya,   dan mengabaikannya  sebagaimana  yang  dilakukan  kaum  jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan  sebagian  dari  mereka masih   terus  melakukannya  hingga  sekarang.  Itulah  yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam. 
Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan  ulama salaf  tidak  pernah  melakukannya,  sedangkan  kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka.  Memang  benar, andaikata  mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi  banyak  sekali perkara  yang  kita  lakukan  sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf  karena  memang  belum  ada  pada zaman  mereka.  Sedangkan  fatwa  itu  sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana   ditetapkan   oleh   para   muhaqqiq.  Meskipun demikian,  dalam  hal  ini  terdapat  ketentuan  yang  harus dipenuhi  yaitu  tidak  boleh  mendermakan  atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota  tubuh,  sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang     kewajiban      memandikannya,      mengafaninya, menshalatinya,  menguburnya  di  pekuburan  kaum muslim, dan sebagainya. 
Mendonorkan  sebagian  organ   tubuh   sama   sekali   tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan. 
BOLEHKAH  WALI  DAN  AHLI  WARIS  MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT? 
Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan  berwasiat untuk  mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi  ahli  waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya? 
Ada  yang  mengatakan  bahwa  tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau  ahli  warisnya  tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya. 
Namun  begitu,  sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia  maka  dia  tidak  dianggap  layak  memiliki  sesuatu. Sebagaimana  kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa  tubuh  si mayit  menjadi  hak  wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara'  melarang  mematahkan  tulang  mayit   atau   merusak tubuhnya  itu  karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati. 
Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan  hak  kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika  terjadi  pembunuhan  dengan   sengaja,   sebagaimana difirmankan oleh Allah:
"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan  hukum qishash  jika  mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau  banyak.  Atau memaafkannya  secara  mutlak  karena  Allah,  pemaafan  yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti  yang  disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa  mereka  mempunyai  hak mempergunakan  sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi  mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai  kadar  manfaat  yang  diperoleh  orang  sakit   yang membutuhkannya  meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala  karena  tanamannya dimakan  oleh  orang  lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan,  atau  terkena  gangguan, hingga  terkena  duri  sekalipun  ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat  --setelah  meninggal  dunia--  dari  doa anaknya  khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka  untuknya.  Dan  telah  saya  sebutkan  bahwa sedekah  dengan  sebagian  anggota  tubuh  itu  lebih  besar pahalanya daripada sedekah dengan harta. 
Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi  ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh  orang-orang  sakit  untuk  mengobati  mereka,  seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama  si  sakit  masih  memanfaatkan organ yang didonorkan itu. 
Sebagian saudara di Qatar  menanyakan  kepada  saya  tentang mendermakan  sebagian  organ  tubuh  anak-anak  mereka  yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga  mereka tidak  dapat  bertahan  hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan  beberapa  anak  lain  membutuhkan  sebagian organ tubuh  mereka   yang   sehat   --misalnya   ginjal--   untuk melanjutkan kehidupan mereka.  
Saya  jawab  bahwa  yang  demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala,  insya  Allah. Karena  yang  demikian  itu  menjadi  sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan  para  orang  tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala  dari  Allah.  Mudah-mudahan  Allah  akan mengganti  untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu-- melalui anak-anak mereka. 
Hanya saja, para ahli waris tidak  boleh  mendonorkan  organ tubuh  si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena  yang  demikian  itu merupakan   haknya,  dan  wasiat  atau  pesannya  itu  wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat. 
BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH 
Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para  wali  untuk mendonorkan  sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah  negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang  tidak  diketahui  identitasnya, dan   tidak   diketahui   ahli   waris  dan  walinya,  untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang  sakit  dan yang terkena musibah? 
Tidak   jauh   kemungkinannya,   bahwa   yang  demikian  itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau  karena  suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati  indikasi  bahwa  sewaktu  hidupnya dulu   si   mayit   berwasiat   agar  organ  tubuhnya  tidak didonorkan. 
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM 
Adapun mencangkokkan  organ  tubuh  orang  nonmuslim  kepada orang  muslim  tidak  terlarang,  karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai  Islam  atau  kafir,  ia  hanya merupakan  alat  bagi  manusia  yang  dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya.  Apabila  suatu  organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi  alat baginya  untuk  menjalankan  misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang  mengambil  senjata  orang  kafir  dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. 
Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam  tubuh  orang kafir  itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih  dan  bersujud  kepada  Allah  SWT,  sesuai dengan  pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu  yang  ada  di  langit  dan  di  bumi  itu  bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih. 
Kalau begitu, maka yang benar adalah  bahwa  kekafiran  atau keislaman   seseorang   tidak   berpengaruh  terhadap  organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri,  yang oleh  Al-Qur'an  ada  yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud  disini bukanlah  organ  yang  dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang  termasuk  bidang  garap  dokter  spesialis  dan   ahli anatomi,  sebab  yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta  antara  yang  taat  dan  yang bermaksiat.  Tetapi  yang  dimaksud  dengannya  adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa,  berpikir,  dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
"... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46)     
"... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)
Dan firman Allah:
"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis  ..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat tersebut  bukanlah  dimaksudkan  untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran). 
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang  muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim. 
PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM 
Adapun  pencangkokan  organ  binatang  yang  dihukumi  najis seperti babi misalnya, ke dalam  tubuh  orang  muslim,  maka pada  dasarnya  hal  itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi  darurat.  Sedangkan  darurat   itu   bermacam-macam kondisi  dan  hukumnya  dengan  harus  mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu  harus diukur  menurut  kadar  kedaruratannya,"  dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya. 
Mungkin  juga  ada  yang  mengatakan   disini   bahwa   yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan   Al-Qur'an   dalam   empat    ayat,    sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya.  Selain itu,  Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu   kulitnya--   padahal   bangkai   itu    diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak    dimakan,    maka   arah   pembicaraan   ini   ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan. 
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw.  pernah melewati  bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya  itu  bangkai  kambing   milik   bekas   budak Maimunah." Lalu beliau bersabda: 
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab,  "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."2 
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis,  maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim? 
Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah  mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang  didalam  tubuh  maka   tidak   terdapat   dalil   yang melarangnya.  Sebab  bagian  dalam  tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah,  kencing, tinja,  dan  semua  kotoran;  dan  manusia  tetap  melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram,  meskipun benda-benda  najis  itu  ada  di  dalam  perutnya  dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan  antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh. 
TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR 
Akhirnya  pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah  hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah  pelir  ini tidak  diperkenankan  memindahkannya  dari  seseorang kepada orang lain? 
Menurut  pendapat  saya,  memindahkan   buah   pelir   tidak diperbolehkan.  Para  ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang  memindahkan  karakter  khusus seseorang  kepada  keturunannya,  dan  pencangkokan pelir ke dalam  tubuh  seseorang,  yakni   anak   keturunan   --lewat reproduksi--   akan   mewariskan   sifat-sifat   orang  yang mempunyai  buah  pelir  itu,  baik  warna  kulitnya,  postur tubuhnya,  tingkat  inteligensinya,  atau  sifat  jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain. 
Hal ini dianggap semacam  percampuran  nasab  yang  dilarang oleh  syara'  dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada  orang  lain  sebagai bapaknya,   dan   lainnya,   yang   menyebabkan   terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang  tidak  termasuk  bagian dari  mereka.  Maka  tidaklah  dapat  diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila  dipindahkan  kepada  orang lain  berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal. 
Demikian pula jika otak seseorang dapat  dipindahkan  kepada orang  lain,  maka  hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar. 
Wa billahit taufiq. 
Catatan kaki:
1 HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah sebagaimana disebutkan dalam al-Jami' ash-Shaghir. Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafal: "Seperti memecahkan tulang orang yang hidup tentang dosanya." ^
2 Muttafaq 'alaih, sebagaimana disebutkan dalam al-Lu'lu' wal-Marjan, nomor 205. ^ 
PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN
PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN 1 
Segala  puji  kepunyaan  Allah.  Shalawat  dan  salam   semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du. 
Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan  beberapa hakikat penting, antara lain: 
Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya  sebagai  suatu  wujud  yang  hidup  yang  wajib dijaga, sehingga syariat  memperbolehkan  wanita  hamil  untuk berbuka  puasa  (tidak  berpuasa)  pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang  diwajibkan  berbuka  jika  ia   khawatir   akan keselamatan    kandungannya.    Karena   itu   syariat   Islam mengharamkan tindakan melampaui  batas  terhadapnya,  meskipun yang   melakukan   ayah   atau   ibunya   sendiri  yang  telah mengandungnya dengan susah payah.  Bahkan  terhadap  kehamilan yang  haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan-- janinnya tetap tidak boleh  digugurkan,  karena  ia  merupakan  manusia hidup yang tidak berdosa:
"... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain ..." (al-Isra': 15)
Selain itu,  kita  juga  mengetahui  bahwa  syara'  mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya,  sebagaimana kisah  wanita  al-Ghamidiyah  yang  diriwayatkan  dalam  kitab sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada  waliyul-amri (pihak  pemerintah)  untuk  menghukum  wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang  ada  di  dalam kandungannya. 
Seperti  kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat (denda) secara sempurna kepada seseorang  yang  memukul  perut wanita  yang  hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan  tadi.  Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2 
Sedangkan  jika  bayi  itu  lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah),  sebesar seperdua puluh diat. 
Kita  juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar kafarat --disamping  diat  dan  ghirrah--  yaitu  memerdekakan seorang  budak  yang  beriman,  jika tidak dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal  itu  diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati. 
Ibnu  Qudamah  berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini juga  diriwayatkan  dari  Umar  r.a..  Mereka berdalil dengan firman Allah: 
"... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92) 
Mereka berkata,  "Apabila  wanita  hamil  meminum  obat  untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang  membunuh tidak  boleh  mewarisi  sesuatu  dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat  yaitu  menggugurkan janin.  Sedangkan  memerdekakan  budak  merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya.  Demikian  pula  jika  yang  menggugurkan janin  itu  ayahnya  maka  si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu  daripadanya,  dan  harus  memerdekakan budak."3 
Jika  tidak  mendapatkan  budak (atau tidak mampu memerdekakan budak),   maka   ia   harus   berpuasa   selama   dua    bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT. 
Lebih  dari  itu  adalah  perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai pembunuhan  janin  setelah  ditiupkannya  ruh,  yakni setelah  kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm  menganggap  tindakan ini  sebagai  tindak  kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko,  seperti  hukum qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata: 
"Jika  ada  orang  bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai seorang  perempuan  yang  sengaja  membunuh  janinnya  setelah kandungannya  berusia  seratus dua puluh hari, atau orang lain yang  membunuhnya  dengan  memukul  (atau  tindakan  apa  pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?' Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum  qishash, tidak  boleh  tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda. Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar  ghirrah  atau denda  saja  karena  itu  merupakan  diat,  tetapi tidak wajib membayar kafarat karena hal itu  merupakan  pembunuhan  dengan sengaja.  Dia  dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh suatu  jiwa  (manusia)  yang  beriman  dengan  sengaja,   maka menghilangkan  (membunuh)  jiwa  harus  dibalas dengan dibunuh pula. Meski  demikian,  keluarga  si  terbunuh  mempunyai  dua alternatif,  menuntut  hukum  qishash  atau  diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan  Rasulullah  saw.  terhadap  orang  yang membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq." 
Mengenai   wanita   yang   meminum   obat  untuk  menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm berkata: 
"Jika anak itu belum ditiupkan  ruh  padanya,  maka  dia  (ibu tersebut)  harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka dia  terkena  ghirrah  dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja membunuhnya, maka dia dijatuhi  hukum  qishash  atau  membayar tebusan dengan hartanya sendiri."4 
Janin  yang  telah  ditiupkan  ruh  padanya,  oleh  Ibnu  Hazm dianggap sebagai sosok  manusia,  sehingga  beliau  mewajibkan mengeluarkan   zakat   fitrah   untuknya.  Sedangkan  golongan Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib. 
Semua itu menunjukkan kepada  kita  betapa  perhatian  syariat terhadap   janin,   dan   betapa  ia  menekankan  penghormatan kepadanya, khususnya  setelah  sampai  pada  tahap  yang  oleh hadits  disebut  sebagai  tahapan  an-nafkhu fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang  harus  kita  terima begitu  saja,  asalkan  riwayatnya  sah,  dan  tidak usah kita memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman:
"... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (al-Isra': 85)
Saya kira, hal itu bukan semata-mata  kehidupan  yang  dikenal seperti   kita   ini,   meskipun  para  pensyarah  dan  fuqaha memahaminya  demikian.  Hakikat  yang  ditetapkan  oleh   ilmu pengetahuan  sekarang  secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan  manusia yang  diistilahkan  oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an:
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)
Tetapi  diantara  hadits-hadits  sahih  terdapat  hadits  yang tampaknya   bertentangan   dengan   hadits  Ibnu  Mas'ud  yang menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh  setelah  usia kandungan  melampaui  masa  tiga  kali  empat  puluh hari (120hari). 
Imam  Muslim  meriwayatkan  dalam   Shahih-nya   dari   hadits Hudzaifah  bin  Usaid,  ia  berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: 
"Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya, ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuaidengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu."5 
Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi  nutfah  setelah  berusia  enam  minggu  (empat puluh dua hari)6  bukan  setelah  berusia   seratus   dua   puluh   hari sebagaimana  disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal itu.  Sebagian  ulama  mengompromikan  kedua  hadits  tersebut dengan  mengatakan  bahwa  malaikat  itu diutus beberapa kali, pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari,  dan  kali lain  pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan ruh.7 
Karena  itu  para   fuqaha   telah   sepakat   akan   haramnya menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang  pun  yang  menentang  ketetapan  ini,  baik  dari kalangan salaf maupun khalaf.8 
Adapun  pada  tahap  sebelum  ditiupkannya  ruh, maka diantara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan  sebelum ditiupkannya   ruh   itu,  sebagian  saudara  kita  yang  ahli kedokteran dan anatomi mengatakan,  "Sesungguhnya  hukum  yang ditetapkan  para  ulama  yang  terhormat  itu  didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui apa  yang  kita  ketahui  sekarang  mengenai  wujud hidup yang membawa ciri-ciri  keturunan  (gen)  kedua  orang  tuanya  dan keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka  karena  mengikuti  perubahan  'illat  (sebab hukum),  karena  hukum  itu  berputar menurut 'illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya 'illat." 
Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di  kalangan  ahli  kandungan  dan  anatomi  sendiri  terdapat perbedaan pendapat --sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan  diantara  mereka  ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari. 
Barangkali ini merupakan  rahmat  Allah  kepada  manusia  agar udzur dan darurat itu mempunyai tempat. 
Maka   tidak   apalah  apabila  saya  sebutkan  sebagian  dari perkataan fuqaha mengenai persoalan ini: 
Syekhul  Islam  al-Hafizh  Ibnu  Hajar   didalam   Fathul-Bari menyinggung    mengenai    pengguguran   kandungan   --setelah membicarakan  secara  panjang  lebar  mengenai  masalah   'azl (mencabut  zakar  untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang  boleh dan  tidaknya  melakukan  hal  itu,  yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya  dalil  pihak yang melarangnya. Beliau berkata: 
"Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum  wanita  menggunakan obat  untuk  menggugurkan  (merusak)  nutfah  (embrio) sebelum ditiupkannya  ruh.  Barangsiapa  yang   mengatakan   hal   ini terlarang,  maka  itulah  yang  lebih  layak;  dan  orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan  dengan  'azl. Tetapi  kedua  kasus  ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena  'azl  itu  dilakukan sebelum  terjadinya  sebab  (kehidupan),  sedangkan  perusakan nutfah  itu  dilakukan  setelah  terjadinya  sebab   kehidupan (anak)."9 
Sementara  itu,  diantara  fuqaha  ada  yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari  dan  yang berusia   lebih   dari   empat   puluh   hari.   Lalu   mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat  puluh hari,  dan  melarangnya  bila  usianya  telah lebih dari empat puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka  adalah  hadits  Muslim  yang  saya  sebutkan  di atas. Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang  termasuk  kitab  mazhab Syafi'i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari: 
"Ada yang  mengatakan  bahwa  hal  itu  tidak  dapat  dihukumi  sebagai  pengguguran  dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan  bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak,  dan  tidak   boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim (uterus)."10 
Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap  sebelum penciptaan  janin  dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu  mereka  memperbolehkan  aborsi   (pengguguran)   sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.  
Didalam  an-Nawadir,  dari  kitab  mazhab  Hanafi, disebutkan, "Seorang  wanita  yang   menelan   obat   untuk   menggugurkan kandungannya,    tidaklah    berdosa   asalkan   belum   jelas bentuknya."11 
Didalam kitab-kitab  mereka  juga  mereka  ajukan  pertanyaan: bolehkah  menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk. 
Kemudian di tempat  lain  mereka  berkata,  "Tidaklah  terjadipembentukan   (penciptaan)  melainkan  setelah  kandungan  itu berusia seratus dua puluh hari. "
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal bin  al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab  jika  tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12 
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui  oleh ilmu pengetahuan sekarang. 
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertianbahwa kebolehan menggugurkan kandungan  itu  tidak  bergantung pada  izin  suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul Mukhtar:   "Mereka   berkata,   'Diperbolehkan    menggugurkan kandungan  sebelum  berusia  empat  bulan, meskipun tanpa izin suami.'" 
Namun demikian, diantara  ulama  Hanafiyah  ada  yang  menolak hukum  yang  memperbolehkan  pengguguran  secara  mutlak  itu, mereka berkata, "Saya tidak  mengatakan  halal,  karena  orang yang  sedang  ihram  saja  apabila memecahkan telur buruan itu harus  menggantinya,  karena  itulah   hukum   asal   mengenai pembunuhan.  Kalau  orang  yang melakukan ihram saja dikenakan hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang  yang menggugurkan kandungan tanpa udzur." 
Diantara  mereka  ada  pula yang mengatakan makruh, karena air (sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi  mempunyai hukum  sebagai  manusia  hidup,  seperti halnya telur binatang buruan  pada  waktu  ihram.  Karena  itu  ahli  tahqiq  mereka berkata,  "Maka  kebolehan  menggugurkan  kandungan  itu harus diartikan karena dalam keadaan udzur, atau  dengan  pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13 
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak memperbolehkan pengguguran, meskipunsebelum ditiupkannya ruh.  
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang  'azl dan  mereka  anggap  hal  ini sebagai "pembunuhan terselubung" sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa  'azl  berarti  menghalangi  sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang menggugurkan  kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran lebih  terlarang  lagi),  karena  sebab-sebab kehidupan disini telah terjadi dengan bertemunya sperma  laki-laki  dengan  sel telur  perempuan  dan  terjadinya  pembuahan  yang menimbulkan wujud makhluk baru yang  membawa  sifat-sifat  keturunan  yang hanya Allah yang mengetahuinya. 
Tetapi  ada  juga  ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau  anaknya  (yang baru  dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga untuk  kebaikan  pendidikan  anak-anak,  atau  lainnya.  Namun demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun  tingkat kejahatannya berbeda. 
Diantara  yang  berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat beliau  --meskipun  beliau  memperbolehkan  'azl  dengan alasan-alasan  yang  akurat menurut beliau-- membedakan dengan jelas   antara   menghalangi   kehamilan   dengan   'azl   dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan: 
"Hal  ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan pengguguran dan pembunuhan terselubung;  sebab  yang  demikian (pengguguran  dan  pembunuhan  terselubung)  merupakan  tindak kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan  wujud  itu mempunyai  beberapa  tingkatan.  Tingkatan  yang pertama ialah masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur  dengan air   (mani)  perempuan  (ovum),  serta  siap  untuk  menerima kehidupan.  Merusak  keadaan  ini   merupakan   suatu   tindak kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka kejahatan terhadapnya  lebih  buruk  lagi  tingkatannya.  Jika telah  ditiupkan  ruh  padanya dan telah sempurna kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula.  Dan  sebagai puncak  kejahatan  terhadapnya  ialah  membunuhnya  setelah ia lahir dalam keadaan hidup."14 
Perlu  diperhatikan,  bahwa   Imam   al-Ghazali   rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud manusia  yang  telah  ada,  tetapi  beliau   juga   menganggap pertemuan   sperma   dengan   ovum   sebagai   "siap  menerima kehidupan." 
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau  tahu  apa yang  kita  ketahui  sekarang  bahwa  kehidupan  telah terjadi semenjak bertemunya sel  sperma  laki-laki  dengan  sel  telur wanita? 
Karena  itu  saya  katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai  dengan perkembangan kehidupan janin." 
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan, bahkan kadang-kadang  boleh  digugurkan  karena  udzur yang  muktabar  (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin  kuat, karena  itu  tidak  boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran  yang  ditetapkan  ahli  fiqih. Keharaman  itu  bertambah  kuat  dan  berlipat  ganda  setelah kehamilan berusia seratus dua puluh  hari,  yang  oleh  hadits diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh." 
Dalam  hal  ini  tidak  diperbolehkan  menggugurkannya kecuali dalam  keadaan  benar-benar  sangat  darurat,  dengan   syarat kedaruratan  yang  pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang  diperbolehkan  karena  darurat  itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya. 
Menurut  pendapat  saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu bentuk saja, yaitu  keberadaan  janin  apabila  dibiarkan akan   mengancam   kehidupan  si  ibu,  karena  ibu  merupakan pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan  janin  sebagai  fara' (cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan  syara' juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang. 
Tetapi  ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak memperbolehkan tindak kejahatan  (pengguguran)  terhadap janin  yang  hidup  dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan: 
"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang dan     tidak     mungkin     dikeluarkan    kecuali    dengan memotong-motongnya,  yang  apabila  tidak  dilakukan  tindakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ... mereka  berpendapat,  'Jika  anak  itu  sudah  dalam   keadaan meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena  menghidupkan  suatu jiwa  dengan  membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam syara'.'"15 
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara',  yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil mafsadatnya. 
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran  lain dari kasus di atas, yaitu: 
"Adanya  ketetapan  secara  ilmiah yang menegaskan bahwa janin --sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi  kondisi yang  buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah: 
"Bahaya itu ditolak sedapat mungkin." 
Tetapi  hendaknya  hal  ini  ditetapkan  oleh  beberapa  orang dokter, bukan cuma seorang. 
Pendapat  yang  kuat  menyebutkan  bahwa  janin  setelah genap berusia empat bulan adalah manusia hidup yang  sempurna.  Maka melakukan  tindak  kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan. 
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami kondisi  yang  sangat  buruk  dan  membahayakan biasanya tidak bertahan hidup setelah  dilahirkan,  sebagaimana  sering  kita saksikan,  dan  sebagaimana  dinyatakan oleh para spesialisnya sendiri. 
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya. Saya  kemukakan  disini  suatu  peristiwa  yang  saya terlibat didalamnya, yang  terjadi  beberapa  tahun  silam.  Yaitu  ada seorang  teman  yang  berdomisili  di  salah satu negara Barat meminta  fatwa  kepada  saya  sehubungan  para  dokter   telah menetapkan  bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia lima bulan-- akan lahir dalam  kondisi  yang  amat  buruk.  Ia menjelaskan  bahwa  pendapat  dokter-dokter  itu hanya melalui dugaan yang kuat, tidak  ditetapkan  secara  meyakinkan.  Maka jawaban  saya  kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah dan menyerahkan ketentuan  urusan  itu  kepadaNya,  barangkali dugaan  dokter  itu  tidak  tepat. Tidak terasa beberapa bulan berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang  berisi foto  seorang  anak  yang  molek  yang  disertai komentar oleh ayahnya yang berbunyi demikian: 
"Pamanda yang terhormat, 
Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur  kepada  Allah Ta'ala,  bahwa  engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari  pisau  para  dokter  bedah.  Fatwamu   telah   menjadi   sebab  kehidupanku,  karena  itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu  ini selama saya masih hidup." 
Kemajuan  ilmu  kedokteran  sekarang  telah  mampu  mendeteksi kerusakan  (cacat)  janin  sebelum berusia empat bulan sebelum mencapai tahap  ditiupkannya  ruh.  Namun  demikian,  tidaklah dipandang  akurat  jika  dokter  membuat  dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak)  akan  mengalami  cacat  --seperti buta,  tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya  kandungan.  Sebab   cacat-cacat   seperti   itu merupakan  penyakit  yang  sudah  dikenal  di  masyarakat luas sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak  orang,  lagi pula  tidak  menghalangi  mereka  untuk bersamasama orang lain memikul  beban  kehidupan  ini.  Bahkan  manusia  banyak  yang mengenal  (melihat)  kelebihan para penyandang cacat ini, yang nama-nama mereka terukir dalam sejarah. 
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai  keyakinan  bahwa  ilmu pengetahuan  manusia  dengan segala kemampuan dan peralatannya akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan Allah sebagai ujian dan cobaan:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya ..." (al-Insan: 2) 
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (al-Balad: 4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi  pada  zaman  kita sekarang  ini  telah  turut  andil  dalam memberikan pelajaran  kepada   orang-orang   cacat   untuk   meraih   keberuntungan, sebagaimana   keduanya  telah  turut  andil  untuk  memudahkan kehidupan mereka.  Dan  banyak  diantara  mereka  (orang-orang cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan  sunnah-Nya  Allah mengganti  mereka  dengan  beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar biasa. 
Allah berfirman dengan kebenaran,  dan  Dia-lah  yang  memberi petunjuk ke jalan yang lurus. 
CATATAN KAKI: 
1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran, di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'. ^
2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550. ^
3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557. ^
4 Al-Muhalla, juz 11. ^
5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni Ummihi," hadits nomor 2645. ^
6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelahmengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwajanin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki tahap baru dan perkembangan yang lain. ^
7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi. ^
8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan alam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm. -- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat ini. ^
9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi. ^
10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416 terbitan al-Halabi. ^
11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233Darul-Ma'rifah, Beirut. ^
12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq. ^
13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih, juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq. ^
14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah," hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.^
15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233. ^