SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH
PENGANTAR
Fatwa ini saya tulis sejak lama sebagai jawaban terhadap beberapa pertanyaan seputar masalah pencangkokan organ tubuh.
Masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah yang terbuka kemungkinan untuk didiskusikan, seperti halnya semua hasil ijtihad atau pemikiran manusia, khususnya menyangkut masalah-masalah kontemporer yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu.
Dalam kaitan ini, tidak seorang pun ahli fiqih yang dapat mengklaim bahwa pendapatnyalah yang benar secara mutlak. Paling-paling ia hanya boleh mengatakan sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi'i, "Pendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar."
Karena itu saya menganggap aneh terhadap kesalahpahaman yang muncul akhir-akhir ini yang menentang seorang juru dakwah yang agung, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, karena beliau memfatwakan tidak bolehnya pencangkokan organ tubuh dengan didasarkan atas pemikiran beliau.
Sebenarnya Syekh Sya'rawi --mudah-mudahan Allah melindungi beliau-- tidak menulis fatwa tersebut secara bebas dan detail. Beliau hanya mengatakannya dalam suatu mata acara televisi, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam acara-acara seperti itu sering muncul pertanyaan secara tiba-tiba, dan jawabannya pun bersifat sepintas lalu, yang tidak dapat dijadikan acuan pokok sebagai pendapat dan pandangan ulama dalam persoalan-persoalan besar dan masalah-masalah yang sukar. Yang dapat dijadikan pegangan dalam hal ini adalah pendapat yang tertuang dalam bentuk tulisan, karena pendapat dalam bentuk tulisan mencerminkan pemikiran yang akurat dari orang yang bersangkutan, dan tidak ada kesamaran padanya.
Namun demikian, setiap orang boleh diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. Sedangkan seorang mujtahid, apabila benar pendapatnya maka dia akan mendapatkan dua pahala; dan jika keliru maka diampuni kesalahannya, bahkan masih mendapatkan satu pahala.
Wa billahit taufiq, dan kepada-Nya-lah tujuan perjalanan hidup ini.
Pertanyaan:
Bolehkah seorang muslim mendonorkan sebagian organ tubuhnya sewaktu dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain? Kalau boleh, apakah kebolehannya itu bersifat mutlak ataukah terikat dengan syarat-syarat tertentu? Dan apa syarat-syaratnya itu?
Jika mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan, maka untuk siapa saja donor itu? Apakah hanya untuk kerabat, atau hanya untuk orang muslim, ataukah boleh untuk sembarang orang?
Apabila mendermakan atau mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan, apakah boleh memperjualbelikannya?
Bolehkah mendonorkan organ tubuh setelah meninggal dunia? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan keharusan menjaga kehormatan mayit?
Apakah mendonorkan itu merupakan hak orang bersangkutan (yang punya tubuh itu) saja? Bolehkah keluarganya mendonorkan organ tubuh si mati?
Bolehkah negara mengambil sebagian organ tubuh orang yang kecelakaan misalnya, untuk menolong orang lain?
Bolehkah mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim ke tubuh orang muslim?
Bolehkah mencangkokkan organ tubuh binatang --termasuk binatang itu najis, seperti babi misalnya-- ke tubuh seorang muslim?
Itulah sejumlah pertanyaan yang dihadapkan kepada fiqih Islam dan tokoh-tokohnya beserta lembaga-lembaganya pada masa sekarang.
Semua itu memerlukan jawaban, apakah diperbolehkan secara mutlak, apakah dilarang secara mutlak, ataukah dengan perincian?
Baiklah saya akan mencoba menjawabnya, mudah-mudahan Allah memberi pertolongan dan taufiq-Nya.
Jawaban:
BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA DIA MASIH HIDUP?
Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.
Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah:
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.
Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.
Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara'.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.
Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.
Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.
MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, menurut pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah: 71)
Bahkan seorang muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang mempergunakan nikmat-nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana firman Allah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu, sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani masalah ini (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti
memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu --sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan "mafia baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti?
Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai.
Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai beberapa masalah, "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak memberikan mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."1
Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.
Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.
Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya.
Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.
BOLEHKAH WALI DAN AHLI WARIS MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?
Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi ahli waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
Ada yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
Namun begitu, sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia maka dia tidak dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara' melarang mematahkan tulang mayit atau merusak tubuhnya itu karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.
Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah:
"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan hukum qishash jika mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau banyak. Atau memaafkannya secara mutlak karena Allah, pemaafan yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka mempunyai hak mempergunakan sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai kadar manfaat yang diperoleh orang sakit yang membutuhkannya meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala karena tanamannya dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan, hingga terkena duri sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat --setelah meninggal dunia-- dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka untuknya. Dan telah saya sebutkan bahwa sedekah dengan sebagian anggota tubuh itu lebih besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.
Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan itu.
Sebagian saudara di Qatar menanyakan kepada saya tentang mendermakan sebagian organ tubuh anak-anak mereka yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga mereka tidak dapat bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan beberapa anak lain membutuhkan sebagian organ tubuh mereka yang sehat --misalnya ginjal-- untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Saya jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala, insya Allah. Karena yang demikian itu menjadi sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan para orang tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari Allah. Mudah-mudahan Allah akan mengganti untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu-- melalui anak-anak mereka.
Hanya saja, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena yang demikian itu merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.
BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH
Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui ahli waris dan walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan yang terkena musibah?
Tidak jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau karena suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat agar organ tubuhnya tidak didonorkan.
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
Adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.
Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kalau begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau keislaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-Qur'an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ yang dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi, sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
"... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46)
"... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)
Dan firman Allah:
"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis ..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.
PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.
Mungkin juga ada yang mengatakan disini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu kulitnya-- padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."2
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?
Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang didalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.
TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR
Akhirnya pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir ini tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain?
Menurut pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak diperbolehkan. Para ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang memindahkan karakter khusus seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke dalam tubuh seseorang, yakni anak keturunan --lewat reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang yang mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur tubuhnya, tingkat inteligensinya, atau sifat jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.
Hal ini dianggap semacam percampuran nasab yang dilarang oleh syara' dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada orang lain sebagai bapaknya, dan lainnya, yang menyebabkan terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang tidak termasuk bagian dari mereka. Maka tidaklah dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada orang lain berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.
Demikian pula jika otak seseorang dapat dipindahkan kepada orang lain, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.
Wa billahit taufiq.
Catatan kaki:
1 HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah sebagaimana disebutkan dalam al-Jami' ash-Shaghir. Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafal: "Seperti memecahkan tulang orang yang hidup tentang dosanya." ^
2 Muttafaq 'alaih, sebagaimana disebutkan dalam al-Lu'lu' wal-Marjan, nomor 205. ^
PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN
PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN 1
Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.
Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan beberapa hakikat penting, antara lain:
Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga, sehingga syariat memperbolehkan wanita hamil untuk berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan keselamatan kandungannya. Karena itu syariat Islam mengharamkan tindakan melampaui batas terhadapnya, meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan-- janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia hidup yang tidak berdosa:
"... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain ..." (al-Isra': 15)
Selain itu, kita juga mengetahui bahwa syara' mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya, sebagaimana kisah wanita al-Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam kitab sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada waliyul-amri (pihak pemerintah) untuk menghukum wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang ada di dalam kandungannya.
Seperti kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat (denda) secara sempurna kepada seseorang yang memukul perut wanita yang hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan tadi. Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2
Sedangkan jika bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah), sebesar seperdua puluh diat.
Kita juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar kafarat --disamping diat dan ghirrah-- yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman, jika tidak dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal itu diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati.
Ibnu Qudamah berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka berdalil dengan firman Allah:
"... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92)
Mereka berkata, "Apabila wanita hamil meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang membunuh tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya. Demikian pula jika yang menggugurkan janin itu ayahnya maka si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan budak."3
Jika tidak mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan budak), maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.
Lebih dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai pembunuhan janin setelah ditiupkannya ruh, yakni setelah kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm menganggap tindakan ini sebagai tindak kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko, seperti hukum qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata:
"Jika ada orang bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah kandungannya berusia seratus dua puluh hari, atau orang lain yang membunuhnya dengan memukul (atau tindakan apa pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?' Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum qishash, tidak boleh tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda. Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau denda saja karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib membayar kafarat karena hal itu merupakan pembunuhan dengan sengaja. Dia dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh suatu jiwa (manusia) yang beriman dengan sengaja, maka menghilangkan (membunuh) jiwa harus dibalas dengan dibunuh pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua alternatif, menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan Rasulullah saw. terhadap orang yang membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq."
Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm berkata:
"Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia (ibu tersebut) harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja membunuhnya, maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar tebusan dengan hartanya sendiri."4
Janin yang telah ditiupkan ruh padanya, oleh Ibnu Hazm dianggap sebagai sosok manusia, sehingga beliau mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuknya. Sedangkan golongan Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.
Semua itu menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat terhadap janin, dan betapa ia menekankan penghormatan kepadanya, khususnya setelah sampai pada tahap yang oleh hadits disebut sebagai tahapan an-nafkhu fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang harus kita terima begitu saja, asalkan riwayatnya sah, dan tidak usah kita memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman:
"... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (al-Isra': 85)
Saya kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal seperti kita ini, meskipun para pensyarah dan fuqaha memahaminya demikian. Hakikat yang ditetapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan manusia yang diistilahkan oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an:
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)
Tetapi diantara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Mas'ud yang menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh setelah usia kandungan melampaui masa tiga kali empat puluh hari (120hari).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Hudzaifah bin Usaid, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya, ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuaidengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu."5
Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi nutfah setelah berusia enam minggu (empat puluh dua hari)6 bukan setelah berusia seratus dua puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal itu. Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits tersebut dengan mengatakan bahwa malaikat itu diutus beberapa kali, pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari, dan kali lain pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan ruh.7
Karena itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang pun yang menentang ketetapan ini, baik dari kalangan salaf maupun khalaf.8
Adapun pada tahap sebelum ditiupkannya ruh, maka diantara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya ruh itu, sebagian saudara kita yang ahli kedokteran dan anatomi mengatakan, "Sesungguhnya hukum yang ditetapkan para ulama yang terhormat itu didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui apa yang kita ketahui sekarang mengenai wujud hidup yang membawa ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya dan keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka karena mengikuti perubahan 'illat (sebab hukum), karena hukum itu berputar menurut 'illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya 'illat."
Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di kalangan ahli kandungan dan anatomi sendiri terdapat perbedaan pendapat --sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan diantara mereka ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.
Barangkali ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar udzur dan darurat itu mempunyai tempat.
Maka tidak apalah apabila saya sebutkan sebagian dari perkataan fuqaha mengenai persoalan ini:
Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari menyinggung mengenai pengguguran kandungan --setelah membicarakan secara panjang lebar mengenai masalah 'azl (mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang boleh dan tidaknya melakukan hal itu, yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya dalil pihak yang melarangnya. Beliau berkata:
"Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini terlarang, maka itulah yang lebih layak; dan orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl. Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan sebelum terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab kehidupan (anak)."9
Sementara itu, diantara fuqaha ada yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari dan yang berusia lebih dari empat puluh hari. Lalu mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat puluh hari, dan melarangnya bila usianya telah lebih dari empat puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka adalah hadits Muslim yang saya sebutkan di atas. Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang termasuk kitab mazhab Syafi'i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari:
"Ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi sebagai pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim (uterus)."10
Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap sebelum penciptaan janin dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu mereka memperbolehkan aborsi (pengguguran) sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.
Didalam an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan, "Seorang wanita yang menelan obat untuk menggugurkan kandungannya, tidaklah berdosa asalkan belum jelas bentuknya."11
Didalam kitab-kitab mereka juga mereka ajukan pertanyaan: bolehkah menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk.
Kemudian di tempat lain mereka berkata, "Tidaklah terjadipembentukan (penciptaan) melainkan setelah kandungan itu berusia seratus dua puluh hari. "
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal bin al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab jika tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui oleh ilmu pengetahuan sekarang.
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertianbahwa kebolehan menggugurkan kandungan itu tidak bergantung pada izin suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul Mukhtar: "Mereka berkata, 'Diperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia empat bulan, meskipun tanpa izin suami.'"
Namun demikian, diantara ulama Hanafiyah ada yang menolak hukum yang memperbolehkan pengguguran secara mutlak itu, mereka berkata, "Saya tidak mengatakan halal, karena orang yang sedang ihram saja apabila memecahkan telur buruan itu harus menggantinya, karena itulah hukum asal mengenai pembunuhan. Kalau orang yang melakukan ihram saja dikenakan hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang yang menggugurkan kandungan tanpa udzur."
Diantara mereka ada pula yang mengatakan makruh, karena air (sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi mempunyai hukum sebagai manusia hidup, seperti halnya telur binatang buruan pada waktu ihram. Karena itu ahli tahqiq mereka berkata, "Maka kebolehan menggugurkan kandungan itu harus diartikan karena dalam keadaan udzur, atau dengan pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak memperbolehkan pengguguran, meskipunsebelum ditiupkannya ruh.
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang 'azl dan mereka anggap hal ini sebagai "pembunuhan terselubung" sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa 'azl berarti menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang menggugurkan kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran lebih terlarang lagi), karena sebab-sebab kehidupan disini telah terjadi dengan bertemunya sperma laki-laki dengan sel telur perempuan dan terjadinya pembuahan yang menimbulkan wujud makhluk baru yang membawa sifat-sifat keturunan yang hanya Allah yang mengetahuinya.
Tetapi ada juga ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau anaknya (yang baru dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga untuk kebaikan pendidikan anak-anak, atau lainnya. Namun demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun tingkat kejahatannya berbeda.
Diantara yang berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat beliau --meskipun beliau memperbolehkan 'azl dengan alasan-alasan yang akurat menurut beliau-- membedakan dengan jelas antara menghalangi kehamilan dengan 'azl dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
"Hal ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan pengguguran dan pembunuhan terselubung; sebab yang demikian (pengguguran dan pembunuhan terselubung) merupakan tindak kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan wujud itu mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan yang pertama ialah masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur dengan air (mani) perempuan (ovum), serta siap untuk menerima kehidupan. Merusak keadaan ini merupakan suatu tindak kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka kejahatan terhadapnya lebih buruk lagi tingkatannya. Jika telah ditiupkan ruh padanya dan telah sempurna kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula. Dan sebagai puncak kejahatan terhadapnya ialah membunuhnya setelah ia lahir dalam keadaan hidup."14
Perlu diperhatikan, bahwa Imam al-Ghazali rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud manusia yang telah ada, tetapi beliau juga menganggap pertemuan sperma dengan ovum sebagai "siap menerima kehidupan."
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau tahu apa yang kita ketahui sekarang bahwa kehidupan telah terjadi semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur wanita?
Karena itu saya katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin."
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan, bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur yang muktabar (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin kuat, karena itu tidak boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran yang ditetapkan ahli fiqih. Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah kehamilan berusia seratus dua puluh hari, yang oleh hadits diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh."
Dalam hal ini tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali dalam keadaan benar-benar sangat darurat, dengan syarat kedaruratan yang pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
Menurut pendapat saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu bentuk saja, yaitu keberadaan janin apabila dibiarkan akan mengancam kehidupan si ibu, karena ibu merupakan pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan janin sebagai fara' (cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan syara' juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
Tetapi ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak memperbolehkan tindak kejahatan (pengguguran) terhadap janin yang hidup dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan:
"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang dan tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan memotong-motongnya, yang apabila tidak dilakukan tindakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ... mereka berpendapat, 'Jika anak itu sudah dalam keadaan meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena menghidupkan suatu jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam syara'.'"15
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara', yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil mafsadatnya.
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran lain dari kasus di atas, yaitu:
"Adanya ketetapan secara ilmiah yang menegaskan bahwa janin --sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi kondisi yang buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
"Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."
Tetapi hendaknya hal ini ditetapkan oleh beberapa orang dokter, bukan cuma seorang.
Pendapat yang kuat menyebutkan bahwa janin setelah genap berusia empat bulan adalah manusia hidup yang sempurna. Maka melakukan tindak kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami kondisi yang sangat buruk dan membahayakan biasanya tidak bertahan hidup setelah dilahirkan, sebagaimana sering kita saksikan, dan sebagaimana dinyatakan oleh para spesialisnya sendiri.
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya. Saya kemukakan disini suatu peristiwa yang saya terlibat didalamnya, yang terjadi beberapa tahun silam. Yaitu ada seorang teman yang berdomisili di salah satu negara Barat meminta fatwa kepada saya sehubungan para dokter telah menetapkan bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia lima bulan-- akan lahir dalam kondisi yang amat buruk. Ia menjelaskan bahwa pendapat dokter-dokter itu hanya melalui dugaan yang kuat, tidak ditetapkan secara meyakinkan. Maka jawaban saya kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah dan menyerahkan ketentuan urusan itu kepadaNya, barangkali dugaan dokter itu tidak tepat. Tidak terasa beberapa bulan berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang berisi foto seorang anak yang molek yang disertai komentar oleh ayahnya yang berbunyi demikian:
"Pamanda yang terhormat,
Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur kepada Allah Ta'ala, bahwa engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari pisau para dokter bedah. Fatwamu telah menjadi sebab kehidupanku, karena itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu ini selama saya masih hidup."
Kemajuan ilmu kedokteran sekarang telah mampu mendeteksi kerusakan (cacat) janin sebelum berusia empat bulan sebelum mencapai tahap ditiupkannya ruh. Namun demikian, tidaklah dipandang akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak) akan mengalami cacat --seperti buta, tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat seperti itu merupakan penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak orang, lagi pula tidak menghalangi mereka untuk bersamasama orang lain memikul beban kehidupan ini. Bahkan manusia banyak yang mengenal (melihat) kelebihan para penyandang cacat ini, yang nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ilmu pengetahuan manusia dengan segala kemampuan dan peralatannya akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan Allah sebagai ujian dan cobaan:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya ..." (al-Insan: 2)
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (al-Balad: 4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman kita sekarang ini telah turut andil dalam memberikan pelajaran kepada orang-orang cacat untuk meraih keberuntungan, sebagaimana keduanya telah turut andil untuk memudahkan kehidupan mereka. Dan banyak diantara mereka (orang-orang cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya Allah mengganti mereka dengan beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar biasa.
Allah berfirman dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
CATATAN KAKI:
1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran, di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'. ^
2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550. ^
3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557. ^
4 Al-Muhalla, juz 11. ^
5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni Ummihi," hadits nomor 2645. ^
6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelahmengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwajanin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki tahap baru dan perkembangan yang lain. ^
7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi. ^
8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan alam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm. -- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat ini. ^
9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi. ^
10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416 terbitan al-Halabi. ^
11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233Darul-Ma'rifah, Beirut. ^
12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq. ^
13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih, juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq. ^
14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah," hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.^
15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233. ^